Gelap. Semua terasa
gelap di mata Ririn, airmata tak henti-hentinya keluar dari matanya. Vina,
sahabatnya mengelus-elus punggungnya untuk menenangkan rasa sedih sahabatnya
padahal kondisinya tak jauh berbeda dengan Ririn. Keduanya sedang menangisi Maya,
sahabat baik semenjak SMA yang telah dahulu dipanggil Tuhan. Ririn dan Vina tak bisa berkata apa-apa selain
memandang nanar makam Maya.Semua pelayat sudah meninggalkan makam, hanya ada
mereka berdua di situ berteman dengan sepi. Peristiwa tak terduga ini
mengobrak-abrik ingatan tentang Maya bertahun-tahun yang lalu. Hari ini adalah 1 April yang menyedihkan. Ini bukan April Mop baginya, ini nyata.
“Rin, aku kangen
sama kamu. Kapan pulang ke Jogja?”
“Masih setahun lagi
mungkin, May. Aku sedang sibuk magang soalnya.” ucap Ririn sebulan yang
lalu. Ririn tak menyangka obrolan mereka sebulan yang lalu akan menjadi yang
terakhir. Ririn tak menyadari wajah kecewa Maya daan betapa pucatnya wajah
sahabatnya itu saat mereka mengobrol lewat videocall.
“Begitu ya. Aku
yakin bentar lagi kamu bakalan pulang kok, Rin. Aku titip Kimchi ya, Rin.”
Ririn tertawa mendengar permohonan Maya itu, biasanya
Maya akan memesan album salah satu boygrup Korea favoritnya saat tahu Ririn
akan pulang ke Indonesia. Kali ini Maya memesan Kimchi yang biasanya membuatnya
eneg, keanehan Maya sekali lagi tak terlihat oleh Ririn.
Itu adalah videocall terakhir dengan Maya.
Seandainya saja aku
menyadari keanehan pada dirimu Maya. Seandanya saja aku pulang saat kamu
meminta. Kenapa kamu nggak pernah cerita soal penyakitmu? Sesal Ririn dalam
hati.
“Rin, Ayo pulang. Aku antar ya,” ajak Vina sambil
mengulurkan tangan.
Ririn menerima uluran tangan Vina dalam diam. Keduanya
sama-sama membisu ketika berjalan menuju parkiran. Saat di mobil pun mereka
lebih memilih diam dengan airmata yang masih keluar. Airmata yang menandakan
kesedihan terdalam karena kehilangan sosok sahabat.
Mobil Vina keluar dari kompleks pemakaman dengan pelan.
Pandangan Ririn tertuju pada Gamelan di Pendopo dekat pemakaman. Beberapa orang
remaja nampak asyik memainkan sebuah tembang jawa dengan gamelan itu. Suara
gamelan yang indah bercampur dengan tawa para remaja itu membuat Ririn
merindukan Maya.
Suara gamelan itu masih terdengar nyaring di telinga
Ririn. Sebuah tembang jawa yang biasa dimainkan oleh kakeknya. Ririn terlelap.
“Seandainya aku bisa kembali ke masa
lalu.”
“Rin, bangun!”
Maya. Ririn mendengar suara Maya dengan sangat jelas.
“Bangun!” sebuah tangan menggoyang-goyangkan tubuh Ririn.
Mau tak mau Ririn membuka mata dan mendapati Maya sedang mendelik marah di
depannya.
“Ini apa-apaan?” tanya Maya sambil menunjuk kertas
jawaban Tryout ujian Ririn yang kosong.
Ririn
menatap bingung ke seluruh penjuru kelas. Semua orang sedang menatapnya termasuk
Pak Sapto, guru Bahasa Indonesiaku.
Maya menggelengkan kepala lalu menarik tangan Ririn untuk
keluar dari kelas. Ririn masih bingung dengan kenyataaan bahwa dia bertemu
dengan Maya. Apakah mungkin dia kembali ke masa lalu?
“Kamu ini gimana sih, Rin? Lagi Tryout Ujian Nasional
malah ketiduran. Katanya mau kuliah di Korea biar ketemu Super Junior. Sekarang
malah ketiduran.”
“Aku mimpi buruk,”
Maya tertawa mendengar pengakuan Ririn.
“Jangan tertawa, May. Aku mimpi kamu meninggal karena
penyakit kanker.”
Maya menghentikan tawanya lalu memandang serius Ririn, “Vina
temen kamu ini sepertinya perlu di bawa ke UGD deh. Aku baik-baik saja gini
dibilang meninggal.”
Vina tiba-tiba sudah berdiri di dekatku lalu memukulku
lenganku pelan,”Makanya jangan kebanyakan tidur.”
Ketiganya memutuskan untuk menuju kantin. Tiba-tiba Maya
berbisik di telinga Ririn,” Mungkin kamu benar tentang satu hal.”
Ririn memandang kaget Maya yang nampak sedang asyik
dengan handphonenya.
Aku benar tentang
satu hal. Apa? Penyakitmu kah?, ucap Ririn dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar